27 July 2021

Hijrah dalam Kamus Ilmu al-Quran Dalam video dengan durasi pendek cukup ramai diperhelatan dunai maya, sekalipun tidak penting tapi terasa penting juga diluruskan. Masalahnya adalah “sederhana” tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya atau tidak proporsional. Pentingnya menempatkan susatu pada wilayahnya, karena kalau tidak akan seperti halnya menyimpan sandal di atas mimbar atau menggunakan silet untuk menyembelih seekor sapi. Tentu aneh dan tak lazim. Di pesantren santri tidak semena-mena bisa menggantikan kiyai, kalau kiyainya ada sedikit halangan, terkecuali dengan syarat-syarat, seperti : sudah bisa membaca kitab gundul, pemahamannya bagus, lama belajarnya, akhlaknya baik. Kalau belum mampu, jangan berharap lebih. Ini yang menjadi dasar saya atau pandangan saya terhadap penceramah baru yang terasa semena-mena Begitupula pemaknaan istilah hijrah, hijrah diistilahkan dengan pindah dari salah ke benar, dari gelap ke terang benderang, dari tidak bernegara menjadi bernegara yaitu negara Islam. Menurut saya itu kurang tepat. Karena hijrah dalam istilah ilmu al-Quran terkait “makiyah” dan “madaniyah”. “Makiyah” adalah teks turun sebelum hijrah dan “madaniyah” adalah teks yang turun setelah hijrah. Jika melihat pada kandungannya kita akan menemukan kontradiksi antara hijrah yang semena-mena dengan hijrah yang sesuai dengan ketentuan asalnya. Dalam buku Dawrah Fikih Perempuan, tulisannya KH Husen Muhammad, disebutkan bahwa “makiyah” adalah peletakan dasar dasar untuk membangun struktur masyarakat baru, dan “madaniyah” adalah periode pembentukannya. Pada umumnya ayat “makiyah” lebih menekankan ketauhidan, nilai kemanusian yang universal, seperti, kesetaraan manusia, keadilan, kebebasan, pluralitas dan penghargaan martabat Manusia. Sementara “madaniyah” adalah ayat yang menjelaskan dan mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat yang sudah terbentuk baik beriman ataupun tidak. Sehingga kalau mendaku hijrah tetapi, belum : memahami ketauhidan, menghargai hak orang lain, menghormati perbedaan, khususnya furu’iyah, menjaga kebebasan, pluralitas, kesetaraan manusia, dll. Saya yakini kalau belum, hijrahnya akan terbawa sempit, dangkal dan memecah persatuan umat. Hijrah akan terasa ekslusif tidak inklusif. Hijrah akan dipenuhi para mualaf dan artist bukan sarjana atau santri, yang telah memenenuhi syarat di atas. Tentu berharap kedepan, dengan “hijrah” yang benar pemaknaannya, akan lahir kebersamaan, persaudaraan, pluralitas, saling mengormati perbedaan, kesetaraan manusia, keadilan dan meneruskan nilai peradaban yang agung seperti masa Islam kanjeng Nabi SAW, dulu, yang tertulis rapih dalam sejarah. Alfaqir Ahmad Fuad Ruhiyat Lemburawi, 05 Juli 2020
Perjalanan Spiritual al-Imam al-Ghazali Oleh : Ahmad Fuad Ruhiyat Setelah mendalami ilmu Kalam, Filsafat dan al-Talim (Kebatinan), al-Imam al-Ghazali tidak menemukan kebenaran yang haqiqi. Tertulis dalam kitab al-Munqidz Mina al-Dhalal bahwa al-Ghazali mengalami keraguan yang memuncak (Skeptis), sehingga ia harus menelan kepahitan yang dirasakannya. Pada masa itu ia tidak mampu untuk mengajar karena lidahnya tidak bisa untuk digerakan, hatinya sedih, makan dan minumpun tidak bisa, seorang dokter di Baghdad menyebutkan kalau al-Ghazali memiliki penyakit bukan seperti biasanya, ini adalah penyakit hati/pikiran yang berdampak pada fisik. Sarannya, obat yang tepat adalah membebaskan jiwa dari kesedihan. Kurang lebih selama enam bulan al-Ghazali mengalami kondisi kritis, dalam bathinnya tarik menarik antara syahwat dunia atau dorongan akhirat (Tujadibu al-Syahwat al-Dunya wa Dawa’iy al-Akhirah). Pada akhirnya ia pergi ke Syam untuk melakukan uzlah, menempuh perjalanan para Sufi, dan di situlah al-Ghazali menemukan samudera kebenaran yang haqiqi. Sebelum uzlah, al-Ghazali membaca buku-buku para sufi terkemuka seperti bukunya Abu Thalib al-Maki, al-Harits al-Muhasibi, Junaid al-Baghdadi, al-Syubli, Abu Yazid al-Busthami, dan mungkin masih banyak buku penulis lain yang ia baca. Sejatinya al-Ghazali tidak sebatas membaca tetapi ia masuk samudera terdalam keilmuannya para sufi. Dalam buku tafsirnya yang terkenal Jawahir al-Quran, al-Ghazali sendiri mengakui kalau ia tidak suka berenang di pantai yang percikan airnya sedikit, aku kata al-Ghazali lebih senang berenang ke tengah samudera dan tenggelam ke dasarnya. Setelah cukup jauh al-Ghazali membaca bukunya para sufi, ia menemukan cahaya kebenaran. “aku telah menemukan pemahaman dan keistemawaan pada diri seorang sufi, dan aku tidak akan bisa mengikuti jalan mereka hanya dengan belajar dan mendengarkan saja tetapi aku harus menempuh dauq dan suluk”. Ada kisah yang cukup menarik tentang al-Ghazali, menurut Kiyai Ulil Abshar Abdalla. Sebelum menempuh jalur kesufian, al-Imam al-Ghazali ini adalah seorang ulama besar, pangkat dan jabatannya sangat tinggi (Nidhamu al-Mulk), harta bendanya melimpah ruah banyak, ia terkenal di mana-mana, kerabatnya banyak. Tetapi anehnya, al-Ghazali diberkahi semua itu, ia tidak lantas puas, lalu menikmati semua seperti manusia biasanya. Sebaliknya, justru al-Ghazali merasakan kegelisahan yang luar biasa. Ajaibnya lagi, al-Ghazali dengan kondisi keraguan yang memuncak itu antara tinggal di Baghdad (Menikmati jabatan dan hartanya) atau pergi ke Syam (Menempuh spiritual para sufi). Ia (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi al-Syafii) memilih untuk pergi ke Syam. Harta benda ia bagikan kepada yang membutuhkan, jabatan ia tinggalkan, semua keterkenalannya dan koleganya ia tinggalkan. Al-Ghazali tenggelam dalam bathinnya untuk menuju jalur kesufian. Inilah al-Ghazali kata Kiyai Ulil dengan beraneka ragam ceritanya, yang tidak banyak ulama Sufi seperti al-Ghazali, yang mengalami dan mampu menceritakan kondisi intelektual dan spiritual yang dahsyat, mungkin hanya al-Ghazali! Diusianya yang ke 39-40 tahunan, pada tahun 1099 M. Al-Ghazali meninggalkan kota Baghdad pergi ke kota Syam. Ia al-Ghazali sehari-harinya menyibukan diri dengan uzlah, halwat, riyadhah, mujahadah, membersihkan jiwa dan akhlak, mensucikan hati dengan dzikir kepada Allah Taala. Kurang lebih selama dua tahun al-Ghazali menjalani halwat. Setiap siang waktunya dihabiskan di menara masjid Damaskus, lalu al-Ghazali pergi ke Baitul-Maqdis, dan tersirat dalam benaknya untuk melaksanakan haji dan halwat di masjid Nabawi. Di ujung dua tahun perjalanan halwatnya, ketika akan pergi ke Hijaz al-Ghazali terpanggil untuk menemui keluarga dan anak-anaknya di daerah Thus, Khurasan, Persia (Sekarang Iran), disitulah ia harus memenuhi kebutuhan hidup keluargannya (Muhimatu al-Iyal wa Dharuratu al-Maisyah). Dengan keinginannya yang kuat, al-Ghazali meneruskan perjalanan halwatnya selama kurang lebih 10 tahun. Di masa inilah sang sufi meraih kelezatan halwat yang tak terhitung hebatnya dan tak tertampung beban kenikmatannya. Al-Ghazali berkeyakinan bahwa para sufi itu adalah para pejalan khusus di jalan Allah Taala, seluruh aktivitasnya baik yang dhahir maupun bathin diambil dari cahaya lampu kenabian, akhlaknya suci, perbuatannya sebaik baik perbuatan dan perjalanannya adalah sebenar benar perjalanan. Ada analogi kesufian yang sangat menarik oleh al-Ghazali. Sufi itu seperti halnya berwudlu dan shalat. Diawali dengan bersuci (Thaharah) yaitu mensucikan hati dari semua selain Allah Taala, dan kuncinya adalah takbiratu al-Ihram yaitu hatinya tenggelam berdzikir kepada Allah Taala, diakhir perjalannya atau salamnya yaitu fana kepada Allah Taala (Al-Fanau Fillah). Fana inilah yang mengantarkan para sufi ke gerbang kabahagiaan haqiqi, al-Ghazali menjelaskan bahwa fana adalah ujung dari perjalan para pencari tetapi awal bagi para kekasih sejati. Sebuah kejadian yang tidak banyak makhluk Allah atau Manusia biasa mengalaminya, yaitu fana. Al-Ghazali mencoba dalam al-Munqidz menceritakan sedikit pengalaman fana para sufi dan dirinya. Kejadian awalnya adalah tersingkap tirai penutup (Al-Mukasyafah) dan menyaksikan (Al-Musyahadah) terhadap para Malaikat dan arwah para Nabi, mendengarkan suara mereka dan memetik pengetahuan darinya. Setelah itu, para sufi akan mengalami derajat yang sangat mulia yang tidak mungkin dapat diceritakan dengan mudah ke layak umum, kalaupun seandainya diceritakan akan mengalami kesalahan. Menurut Kiyai Ulil Abshar seandainya diceritakan tentang kefanaan para sufi maka akan merubah tatanan yang sudah dibangun, akan terjadi kekacauan di mana-mana, akan terjadi global transformations. Untuk itu, bahasa yang terbatas tidak akan mampu menampung keluasan samudera pengalaman fananya para sufi. Seperti tertulis dalam syair Arab : “terjadilah sesuatu yang telah terjadi karena aku tak bisa menceritakannya, Maka berperasangka baiklah dan janganlah kamu menanyakan tentang ceritanya”.

16 October 2018

Senangnya mencaci ketimbang memuji (sebuah refleksi atas kondisi bangsa dan media sosial)

Bisa dirasakan memang semakin berkembang dunia informasi semakin mengecil filterisasi dari biang hasutan dan fitnah. Jika kita melihat setiap hari bahkan hitungan jam, setiap informan melakukan pemberitaan baik atau buruk, benar atau salah. Mereka minim sekali mempertimbangkan moralitas pembaca apatah lagi mengajak untuk kebaikan. Penulis teringat masa 90-an ketika informasi tidak secanggih sekarang ini, tanpa handphone, media sosial dll. Dulu semua orang berbicara langsung, baik pada temannya, orang tua, saudara; mereka lebih gentleman. Mereka semua menumpahkan resah risihnya, suka dukanya, emosi dan cintanya, langsung kepada siapa saja yang dikehendaki. Mereka tidak berani berbicara seenaknya, apalagi masalah tokoh agama. Tokoh agama bagi mereka adalah kitab suci yang berjalan, atau rumah sakit. Mereka sangat suport dengan tokohnya yang memiliki karismatik atau akhlak yang sangat mulia. Mereka mengikuti apa saja yang diperintahkan atau dilarang oleh tokoh tersebut. Mereka sangat mencintai dan menyayanginya. Bisa dipastikan masyarakat akan melakukan sesuatu berdasarkan pertimbangan tokoh tersebut bahkan menjaga jiwa dan raganya. Warung kopi, mushala, tajuk, pesantren, sawah, kebun, akan dijadikan tempat yang multidimensi untuk dijadikan dakwah atau obrolan biasa saja antar mereka. Mereka terlihat lebih asik, dengan menu yang bervariasi, tokohnyapun tidak terlalu memiliki kecakapan berbicara tetapi memiliki akhlak yang baik. Mereka seperti berbaur begitu saja, tanpa titel sarjana apapun. Sehingga sampai sekarang penulis meyakini yang menyentuh soal ibadah, muamalah, akhlak budi perkerti, di ranah masyarakat bawah adalah jebolan pesantren atau para kiyai. Baru-baru ini kita menyaksikan di media sosial, soal penghinaan terhadap tokoh-tokoh baik tokoh agama maupun tokoh bangsa. Sebuah kondisi yang sangat miris sekali untuk disimak. Pilgub di ibu kota semua ramai mengutuknya, semua masyarakat terbawa dengan arus perpolitikan. Semua dengan mudah sekali dipelintirkan oleh kaum elit. Bangsa ini seakan ingin pecah, persaudaraan yang dibangun dari kultur yang majemuk dan sudah lama, dengan begitu saja mereka hancurkan. Kebhinekaan tinggal lambang, semua berhadapan dan saling menyalahkan. Mereka berbicara agama terkadang ada kepentingan politiknya, mereka berbicara politik selalu mengatasnamakan agama. Bahkan yang lebih aneh bagi penulis mereka menggemborkan tentang kembali ke Quran dan Hadist tapi kenyataannya lebih taat kepada berita yang tidak jelas asal muasal penulisnya. Mereka senang menghina, mencaci, dan memfitnah. Padahal jelas dalam dua sumber utama ajaran islam, semua itu sangat dilarang bahkan lebih kejam daripada pembunuhan. Tulisan ini diterbitkan pada tanggal 02/08/2017 di http://pwansorjabar.org/senangnya-mencaci-ketimbang-memuji/

03 May 2011

Kebebasan Pers Di Indonesia Buruk



Ungkapan seperti itu banyak bertebaran diberbagai media, baik media tulis maupun media lisan(tv, radio). Ironisnya yang menjadi soal bagiku, siapa yang salah?

Pasca reformasi, pers memiliki kekuatannya kembali setelah hampir 30 tahun mereka dibungkam dengan keji oleh orde baru. Sementara di negara maju pers begitu bebas dan menjadi pioneer dalam segala aspek.

Tahun-tahun berikutnya dunia pers tumbuh di mana-mana bak jamur di musim hujan.

Namun sayang diberbagai tempat seperti: jakarta, bandung, surabaya dan kota besar lainnya, pers sepertinya "kebablasan". Berapi-api dalam pemberitaan tanpa menjaga kode etik sebagai pengantar informasi. Sehingga disela-sela kebebasan yang terjaga oleh undang-undang para penulis dibeberapa media tidak sedikit yang menjadi korban keganasan masa: kantor yang di serang masa, pembunuhan para wartawan dan beberapa kasus buku yang tidak boleh terbit, itu menurut saya karena faktor kode etik yang tidak diindahkan oleh para jurnalis di tanah air dan budaya masyarakat kita yang masih cenderung "kaku"

"DAN yang namanya kekerasan dimanapun, oleh apapun, siapapum tidak akan pernah diterima keberadaannya".

Untuk itu, semestinya pemerintah lebih menjaga bukan dalam artian mengintervensi namun menjaga kebebasan pers dalam mengelola seluruh informasinya dan tentu didasari dengan kode etik yang jelas bukan asal publis semata. Lantas diadakan dialog dengan masyarakat. Jadi ketika ada pemberitaan yang "menyeleweng" masa(yang bersangkutan) dipilih ikut serta untuk pembenaraannya dengan cara mendatangi kantor media atau menelpon "tentu dengan cara mengkritik yang baik bukan dengan kekerasan"




Lemburawi, 3 Mei 2011

02 May 2011

PeRgAul@n.


Ada yang aneh minggu-minggu ini. Terdengar, terbaca, bahwa yang namanya persahabatan itu indah. Beberapa hari ke belakang saya menemukan keganjilan tentang persahabatan, ia seakan menjambak rambutku menginjak badan ini sampai rusak. Kenapa ko bisa yah?

Selama ini baik baik saja. Kami biasa berkumpul, bercanda, bahkan saling membantu. Aku ingat ketawa dan senyumannya, kebaikannya, ah tentu banyak sekali. Sekalipun kami baru kenal awal-awal ini namun terasa sudah lama kami kenal.

Tiba-tiba saja aku tahu semuanya; pembicaraannya yang menjelekanku, menghina dan menyepelekanku.

Aku ingat waktu kecil dulu. Kalau tidak salah ungkapan seorang sufi yang masyhur dengan kitab Hikamnya: Bahwa menjaga pergaulan atau memilih pergaulan itu penting bahkan sangat dianjurkan oleh agama.

Dalam hukum sosial, manusia pun memiliki tahapan-tahapan yang dikarenakan paktor eksternal. Dan yang paling berperan hingga 50% dalam kehidupan ini tiada lain pergaulan dan lingkungan.

Lemas hati ini, gundah pikiran ini tak percaya, ini mimpi apa bukan yah? ko tega.

Bebarapa hari aku termenung, masih dalam hati penasaran ini mimpi apa bukan yah?

Baru setelah aku pikir baik-baik, dilematis memang, aku lebih baik memilih memaafkannya daripada pusing. Menjauhinya lantas mencari sahabat yang bisa menjaga dan menghormati satu sama lain.

Pergaulan memang sangat dibutuhkan pada masa-masa seusiaku. Tentu di sini pergaulan yang mengantarkan kita pada kebaikan bukan sebaliknya, terkecuali kita bergaul hanya sebatas ingin tahu lingkungan dan mempunyai prinsip "dewasa" dalam diri kita nya.

Kalau mengupas kasus remaja baru-baru ini, tentu semuanya tidak bisa lepas dari akibat sebuah persahabatan/lingkungan atau pergaulan. Sekilas kita dengar tentang pemerkosaan, mabok masal, tawuran, semuanya dampak dari sebuah pergaulan yang salah.

Hemat saya di sini pergaulan/persahabatan sangat, sangat, sangat perlu untuk kita pikirkan terlebih dahulu. Kita harus pandai memilih sebelum terjebak pada yang namanya gengsi/malu untuk menghindar, atau kita akan terkena kasus seperti kasus-kasus di atas.



Lemburawi, 02 Mei 2011