03 May 2011

Kebebasan Pers Di Indonesia Buruk



Ungkapan seperti itu banyak bertebaran diberbagai media, baik media tulis maupun media lisan(tv, radio). Ironisnya yang menjadi soal bagiku, siapa yang salah?

Pasca reformasi, pers memiliki kekuatannya kembali setelah hampir 30 tahun mereka dibungkam dengan keji oleh orde baru. Sementara di negara maju pers begitu bebas dan menjadi pioneer dalam segala aspek.

Tahun-tahun berikutnya dunia pers tumbuh di mana-mana bak jamur di musim hujan.

Namun sayang diberbagai tempat seperti: jakarta, bandung, surabaya dan kota besar lainnya, pers sepertinya "kebablasan". Berapi-api dalam pemberitaan tanpa menjaga kode etik sebagai pengantar informasi. Sehingga disela-sela kebebasan yang terjaga oleh undang-undang para penulis dibeberapa media tidak sedikit yang menjadi korban keganasan masa: kantor yang di serang masa, pembunuhan para wartawan dan beberapa kasus buku yang tidak boleh terbit, itu menurut saya karena faktor kode etik yang tidak diindahkan oleh para jurnalis di tanah air dan budaya masyarakat kita yang masih cenderung "kaku"

"DAN yang namanya kekerasan dimanapun, oleh apapun, siapapum tidak akan pernah diterima keberadaannya".

Untuk itu, semestinya pemerintah lebih menjaga bukan dalam artian mengintervensi namun menjaga kebebasan pers dalam mengelola seluruh informasinya dan tentu didasari dengan kode etik yang jelas bukan asal publis semata. Lantas diadakan dialog dengan masyarakat. Jadi ketika ada pemberitaan yang "menyeleweng" masa(yang bersangkutan) dipilih ikut serta untuk pembenaraannya dengan cara mendatangi kantor media atau menelpon "tentu dengan cara mengkritik yang baik bukan dengan kekerasan"




Lemburawi, 3 Mei 2011

No comments:

Post a Comment